Rabu, 18 Februari 2009

Kelompok KF Binaan PLS Diduga Fiktif

Gema Parmout – Program Keaksaraan Fungsional (KF) dalam rangka mengentaskan buta aksara di Kabupaten Parigi Moutong (Parmout) yang dilakukan Dinas Pendidikan (Disdik) dan ditangani oleh Bidang Pendidikan Luar Sekolah (PLS) pada tahun 2007 – 2008, terindikasi tidak berjalan dengan baik.
Pasalnya, kelompok yang dibentuk hingga saat ini tidak jelas keberadaannya, indikasi ini diperkuat setelah adanya kegiatan pengambilan foto kegiatan KF dilaksanakan pada tahun 2009.
Dugaan terhadap fiktifnya KF tersebut berawal ketika beberapa LSM dan wartawan media ini menerima laporan tentang adanya dugaan kegiatan KF yang fiktif dari narasumber yang meminta namanya tidak dikorankan.
Beberapa waktu lalu, untuk memperoleh kebenaran atas laporan dan dugaan sumber, media ini mencoba untuk meminta data kelompok KF yang berada di Disdik pada Bidang PLS, namun sangat disayangkan bahwa pada saat itu Kabid PLS yang masih dijabat oleh Arifin A.A Wali SH, menghalangi wartawan dengan alasan meminta surat tugas. Padahal, saat itu wartawan media ini telah menunjukan kartu pers.
“Kalau kalian ingin memperoleh data lengkap, silahkan bawa surat tugas dari instansi kalian dan rekomendasi dari Kadisdik,” ujar Arifin yang didampingi Intje Sari M.Si, pada saat itu.
Menanggapi hal itu, Kadisdik Drs I Nyoman Sriadijaya MM, yang dihubungi media ini mengatakan bahwa kelompok tersebut ada. Dikatakannya, kemingkinan dugaan itu disebakan miskomunikasi antara wartawan dan LSM dengan pihak Disdik. Dalam hal ini Bidang PLS.
"Sebenarnya, apabila kelompok KF tersebut jelas keberadaannya, pihak PLS seharusnya memberikan informasi kepada teman-teman LSM dan wartawan jangan terkesan ditutupi karena kita menganut azas transparansi," tegasnya.
Informasi terakhir yang dihimpun media ini lebih aneh lagi, yakni kegiatan KF untuk tahun 2008 akan dialihkan ke tahun 2009.
Padahal, berdasarkan dengan isi Memorandum of Understanding (MOU) dengan nomor 421-9/22-97a/Dikjar, yang telah ditanda tangani pihak Disdik Bidang PLS dengan PKK, berisikan kesepakatan untuk melaksanakan kegiatan keaksaraan fungsional 77 kelompok dengan jumlah 770 orang warga belajar, akan melaksanakan pembinaan selama enam bulan pembelajaran dimulai dari bulan Juli sampai dengan 31 Desember 2008.
Namun, kenyataannya kegiatan itu baru dilaksanakan pada tahun 2009 dengan alasan anggaran baru saja dicairkan.
Demikian juga dengan 100 kelompok KF dengan jumlah warga belajar seribu orang yang dibina pada tahun 2007, sampai saat ini pihak PLS tidak mampu menunjukkan dimana saja keberadaan kelompok tersebut.
Yang lebih aneh lagi kegiatan tersebut diadakan rata-rata jauh diluar kota, padahal di seputaran ibu kota kabupaten yang terletak di Kecamatan Parigi, masih banyak warga yang disinyalir buta aksara, seperti di Kelurahan Bantaya.
Namun, belum selesai menuntaskan keaksaraan dalam kota dan sekitarnya, program KF tersebut telah dijalankan diluar kota yang jaraknya notabene sangat jauh.
Untuk diketahui, pekan kemarin, beberapa LSM dan wartawan mencoba untuk mengkonfirmasi kembali kepada Intjesari, yang saat ini telah menjabat sebagai Kepala Bidang PLS yang baru.
Namun, yang bersangkutan sulit untuk ditemui, bahkan nomor HP 081341089xxx miliknya sejak tanggal 10 – 11 sudah tidak aktif sehingga upaya konfirmasi yang dilakukan oleh wartawan media ini mengalami kendala.
Ditempat terpisah, menanggapi sikap dan pernyataan Arifin, redaktur pelaksana Gema News Dadank, sangat menyesalkan bahwa tindakan yang dilakukan pihak PLS, dalam hal ini Arifin, sangat tidak benar dan terkesan menutup-nutupi serta tidak menarapkan azas transparansi.
Dikatakannya, hal itu sangat bertentangan dengan semangat kemerdekaan pers, sebab dalam UU pokok pers Nomor 40 1999 sangat jelas ditegaskan pada pasal 2 bahwa kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsi demokrasi, keadilan dan supremasi hukum.
Bahkan, kata Dadank, lebih dipertajam lagi sebagai bentuk pelanggaran seperti yang tertuang dalam pasal 18 ayat 1, dapat diancam pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp.500 juta, bagi setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pers.
“Kalu melihat tindakan Arifin, ini dapat dikenakan pasal 18 ayat 1 sebagai tindakan yang secara sengaja menghambat atau menghalani tugas-tugas jurnalistik,” tegasnya.
Selain itu, lanjut Dadank, dengan cara yang terkesan menutup-nutupi dan menghalangi tugas pers, ada indikasi bahwa dugaan tersebut benar.
“Kalau memang program itu tidak fiktif, kenapa harus ditutup-tutupi. Dan tidak ada salahnya wartawan untuk memperoleh data sebab, itu sudah sepantasnya diketahui oleh masyarakat umum karena hal itu sangat berkaitan dengan masyarakat,” ujar Dadank.(frz)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar